Dalam Program History Channel  Documentary, koran yang terbit di Inggris itu menjelaskan, tengkorak  tersebut merupakan tengkorak perempuan yang meninggal di bawah usia 40  tahun. Dengan informasi ini, semakin terbuka munculnya spekulasi seputar  kematian tokoh Perang Dunia II tersebut. Selama ini, sebagian  masyarakat dunia meyakini pemimpin Nazi (Nationalsozialismus) Jerman  tersebut, tewas bunuh diri di salah satu bunker di Berlin pada 30 April  1945 bersama kekasihnya Eva Braun. Ketika itu usia Hitler 56 tahun.
Sebagian lagi beranggapan, Hitler  berhasil melarikan diri bersama Eva Braun, kemudian menghabiskan masa  tuanya di Brasil, Argentina, atau wilayah lainnya di Amerika Selatan.  Masing-masing pihak mengemukakan berbagai argumen yang memperkuat dugaan  mereka. Sejumlah dokumen diungkapkan dan para saksi pun berbicara.
Selain versi yang sudah lama dikenal  dunia, terdapat versi Indonesia yang boleh jadi merupakan versi terbaru.  Dalam versi itu dijelaskan tentang kemungkinan Hitler melarikan diri ke  Indonesia dan meninggal di Surabaya. Dugaan ini didasarkan pada  penuturan seorang dokter warga Bandung, Sosrohusodo.
Sosro adalah dokter lulusan Universitas  Indonesia. Dia menuliskan pendapatnya pada satu artikel di Pikiran  Rakyat pada 1983. Kemudian pada 1994 saya bertemu dengan Sosrohusodo.  Hasil wawancara itu dimuat Pikiran Rakyat pada 24 Februari 1994 dalam  bentuk artikel yang cukup panjang. Artikel itulah yang kemudian  wara-wiri di dunia maya belakangan ini.
Pertemuan dengan Sosrohusodo ketika itu  dilakukan atas permintaannya. “Saya ini sudah tua. Akan tetapi, saya  masih memiliki satu beban besar yang hingga kini belum terungkap, yaitu  mengenai diktator Jerman Adolf Hitler,” katanya, saat berbincang di  rumahnya Jln. Setiabudhi seberang kampus UPI Bandung. Rumahnya tidak  begitu besar, tetapi halamannya cukup luas. Raut gelisah terlihat di  wajah Sosrohusodo.
Dia pun memperlihatkan setumpuk dokumen  yang tampak lusuh. Diikat dengan beberapa belit benang. Antara lain  berisi foto-foto lama, yang memperlihatkan seorang lelaki dan perempuan  bule warga negara Jerman, paspor, dan buku harian dengan tulisan steno.  Terdapat pula foto seorang wanita Sunda, yang disebutnya sebagai sumber  amat penting dan memperkuat teorinya itu.
Lelaki dalam foto-foto itu bernama dr.  Poch, pemimpin salah satu rumah sakit umum di Pulau Sumbawa Besar. Sosro  sempat bertemu langsung beberapa kali dengan Poch, saat bertugas  sebagai tenaga kesehatan di kapal Hope yang dijadikan rumah sakit pada  1960.
“Melalui perbincangan tentang masa  lalunya dan ciri-ciri fisik, saya semakin yakin Poch bukan orang  sembarangan. Saya curiga dialah Adolf Hitler yang misterius itu.  Apalagi, dia ditemani seorang perempuan yang menurut saya wajahnya mirip  Eva Braun, kekasihnya. Akan tetapi, keyakinan ini saya pendam sangat  lama. Hingga saya selesai bertugas di kapal Hope, rasa penasaran itu  belum terjawab,” kata pria kelahiran Gundih Jawa Tengah, yang saat itu  berusia 63 tahun.
*Kaki Kiri dr. Poch tidak Normal
Keyakinan dan sekaligus rasa penasaran  Sosrohusodo muncul kembali, setelah lebih dari dua puluh tahun kemudian  dia menemukan informasi-informasi baru. Maka dia pun melakukan  rekonstruksi pengalamannya, membuka kembali catatan-catatan, dan  menuangkannya dalam bentuk tulisan. Sosro benar-benar tertantang untuk  mengungkap misteri dr. Poch. Saat itu, dia memperlihatkan sejumlah  tulisan yang dibuatnya seperti diktat.
Kaki yang Diseret
Dari perjumpaannya dengan Poch, Sosro  mengetahui kaki kiri dokter tersebut tidak normal. Jika berjalan harus  diseret. Sementara tangan kirinya selalu gemetar. Kumisnya dipotong  pendek dan hanya tersisa di tengah. Persis seperti yang ditirukan  komedian terkenal Charlie Chaplin. Tidak tersisa rambut di kepalanya  alias plontos.
Jika benar Poch adalah Hitler, pada saat  bertemu Sosro dia berusia 71 tahun. Sebab, Hitler lahir pada 1889.  ”Saya kira usianya seperti itu, sesuai dengan penampilan fisiknya. Saya  ingat betul kondisi fisiknya, karena bukan hanya sekali bertemu  dengannya dan berbicara tentang hal itu,” kata Sosro.
Hal lain yang membuatnya heran, ternyata  Poch tidak memiliki ijazah kedokteran, tidak memiliki lisensi apa pun  di bidang kesehatan. Akan tetapi, ternyata dia bisa memimpin satu rumah  sakit. Sehari-hari Poch sering membungkus tubuhnya dengan seragam putih,  pakaian khas dunia kedokteran. Sebagai seorang dokter, Sosro pernah  memancing Poch dengan percakapan soal kesehatan.
“Poch ternyata tidak menguasai dunia  medis, saya tahu itu. Dari pembicaraannya, dia tidak mengerti soal  kedokteran. Ini makin misterius saja. Lalu siapa yang mengangkatnya  menjadi pemimpin rumah sakit tersebut. Tentu tidak sembarang orang bisa  menjadi pimpinan salah satu lembaga penting seperti itu,” kata Sosro.
Pada satu kesempatan berkunjung ke  kediaman Poch, banyak hal dikemukakan dokter tua tersebut yang justru  memperkuat dugaan Sosro. Misalnya saat ditanya tentang pemerintahan  Hitler, Poch secara terang-terangan memujinya. Dia juga menolak anggapan  terjadinya pembantaian besar-besaran terhadap orang Yahudi di Kamp  Auschwicz. Padahal, dalam sejarah dunia kamp yang satu ini merupakan  cerita horor legendaris pada masa kejayaan Nazi.
Poch juga mengaku tidak tahu-menahu,  ketika ditanya tentang kematian Adolf Hitler pada 1945 di Berlin. Dia  hanya bercerita, keadaan saat itu benar-benar kacau-balau dan setiap  orang berusaha untuk menyelamatkan diri. Poch seperti menghindar jika  ditanya terlalu jauh soal sosok Hitler dan sepak terjang Nazi.
Hampir sepanjang perbincangan  berlangsung, lelaki tua yang gemar memotret itu mengeluhkan tentang  tangan kirinya yang gemetar. Sosro kemudian meminta izin untuk memeriksa  saraf ulnarisnya. Ternyata tidak ada kelainan. Demikian pula dengan  tenggorokannya sehat-sehat saja. Saat itu, Sosro menyimpulkan  kemungkinan “Hitler” hanya menderita parkinson, berkaitan dengan usianya  yang lanjut.
Lalu Sosro berasumsi, kemungkinan  penyakit itu muncul karena trauma psikis. “Dugaan saya langsung diiyakan  Poch. Saya kaget juga. Akan tetapi, ketika saya tanya lebih jauh sejak  kapan penyakit itu menghinggapinya, Poch malah bertanya kepada istrinya  dalam bahasa Jerman. “Ini terjadi ketika Jerman kalah di pertempuran  dekat Moskow. Saat itu Goebbels mengatakan bahwa kau memukuli meja  berkali-kali.” ujar istrinya seperti ditirukan Sosro.
Siapa Goebbels? Apakah yang dimaksud  adalah Joseph Goebbels, wartawan yang banyak membantu gerakan Nazi dan  kemudian menjadi Menteri Propaganda pada pemerintahan Hitler? “Tidak  tahu keceplosan atau bagaimana, beberapa kali istrinya memanggil Poch  dengan sebutan ‘Dolf’. Apakah ini merupakan kependekan dari ‘Adolf’ atau  bukan, saya tidak begitu pasti. Namun, itulah yang saya dengar  langsung,” katanya.
*Tulisan di Majalah “Zaman”
PERJUMPAAN Sosrohusodo dengan “Hitler”  diwarnai berbagai kebetulan. Kebetulan pertama, ketika dia bertugas di  Kapal Hope. Kebetulan kedua terjadi pada tahun 1981. Setelah lebih dari  21 tahun, pengalaman bertemu dengan Poch terekam dalam benaknya dan  dicatat pada buku hariannya, seorang keponakannya datang berkunjung ke  Bandung dan memperlihatkan mazalah Zaman edisi No. 15 Januari 1980.
Pada majalah tersebut terdapat sebuah  artikel yang ditulis Heinz Linge, bekas orang dekat Hitler, berjudul  “Cerita Nyata Hari Terakhir Seorang Diktator”. Tulisan tersebut  diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Try Budi Satria. Sambil  memperlihatkan majalah Zaman, Sosro menerangkan, dalam tulisan itu Linge  menceritakan tentang peristiwa bunuh diri Hitler dan Eva Braun.  Kemudian menerangkan tentang kondisi fisik Hitler saat itu.
“Beberapa alinea dalam tulisan itu  membuat jantung saya berdetak keras, seperti menyadarkan saya kembali.  Sebab di situ ada ciri-ciri Hitler yang juga saya temukan pada diri si  dokter tua Jerman. Apalagi setelah saya membaca buku biografi Hitler.  Semuanya ada kesamaan,” ucap ayah empat anak ini.
Heinz Linge menulis, “Beberapa orang di  Jerman mengetahui bahwa Führer sejak saat itu kalau berjalan maka dia  menyeret kakinya, yaitu kaki kiri. Penglihatannya pun sudah mulai kurang  terang serta rambutnya hampir sama sekali tidak tumbuh. Kemudian,  ketika perang semakin menghebat dan Jerman mulai terdesak, Hitler mulai  menderita penyakit kejang urat“.
Di samping itu, tangan kirinya pun mulai  gemetar pada waktu kira-kira pertempuran di Stalingrad tidak membawa  keberuntungan bagi tentara Jerman, dan ia mendapat kesukaran untuk  mengatasi tangannya yang gemetar itu. Pada akhir artikel, Linge menulis,  ”Tetapi aku bersyukur bahwa mayat dan kuburan Hitler tidak pernah  ditemukan”.
Semangat untuk mengungkap misteri Poch semakin menggebu di dada Sosrohusodo.
*Buku Harian Misterius tentang Kisah Pelarian Nazi
*Buku Harian Misterius tentang Kisah Pelarian Nazi
SOSROHUSODO menemukan data menarik dalam  buku harian berukuran saku milik Poch. Dalam buku lusuh tersebut  ditemukan ratusan alamat orang asing yang tinggal di berbagai negara di  dunia. Di berbagai halamannya terdapat coretan tangan yang sulit dibaca.  Di bagian lainnya terdapat tulisan steno. Semuanya berbahasa Jerman.
“Lihat ini catatannya. Buku ini banyak  berbicara dalam upaya pengungkapan sosok misterius Poch. Memang tidak  mudah, tetapi saya tertantang. Mungkin ini hanya soal waktu,” kata Sosro  sambil membuka halaman-halaman buku kecil itu.
Memang tidak ada identitas jelas pemilik  buku itu. Hanya, ada beberapa kode terdiri atas angka-angka yang tidak  jelas maknanya. Pada sampul depan bagian dalam, tertulis kode J.R. KePaD  No. 35637 dan 35638, dengan masing-masing nomor ditandai lambang  biologis laki-laki dan perempuan. “Ini memperkuat dugaan saya, buku itu  milik kedua orang yang saya yakini sebagai Hitler dan Eva Braun. Mereka  menutup identitasnya rapat-rapat, tetapi tetap ada celah yang menuntun  pada kenyataan sebenarnya,” tuturnya.
Sementara nama-nama negara yang tertulis  dalam buku itu antara lain Pakistan, Tibet, Argentina, Afrika Selatan,  dan Italia. Di salah satu halamannya terdapat tulisan yang dalam bahasa  Indonesia berarti “Organisasi Pelarian. Tuan Oppenheim pengganti Ny.  Kruger. Roma Sardegna 79a/1. Ongkos-ongkos untuk perjalanan ke Amerika  Selatan (Argentina)“.
Lalu, ada satu nama dalam buku saku  tersebut yang sering disebut-sebut dalam sejarah pelarian orang-orang  Nazi, yaitu Prof. Dr. Draganowitch, atau ditulis pula Draganovic. Di  bawah nama Draganovic tertulis Delegation Argentina da Imigration Europa  – Genua Val Albaro 38. Secara terpisah, di bawahnya lagi tertera  tulisan Vatikan. Di halaman lain disebutkan, Draganovic Kroasia, Roma  via Tomacelli 132.
Sosro kemudian memperlihatkan majalah  Intisari terbitan Oktober 1983, yang memuat sosok Klaus Barbie alias  Klaus Altmann, bekas anggota polisi rahasia Jerman zaman Nazi. Di situ  tertulis satu alamat Val Albaro. Disebutkan pula bahwa Draganovic memang  memiliki hubungan dekat dengan Vatikan Roma. Profesor inilah yang  membantu pelarian Klaus Barbie dari Jerman ke Argentina. Pada 1983,  Klaus diekstradisi dari Bolivia ke Prancis, negara yang menjatuhkan  hukuman mati terhadapnya pada 1947.
“Masih banyak alamat dalam buku ini yang  belum seluruhnya saya ketahui relevansinya dengan gerakan Nazi. Saya  juga sangat berhati-hati tentang hal ini, sebab menyangkut negara-negara  lain. Saya masih harus bekerja keras menemukan semuanya. Saya yakin  kalau nama-nama yang tertera dalam buku kecil ini adalah para pelarian  Nazi,” katanya.
*Rute Pelarian Hitler Dalam Tulisan Steno
*Rute Pelarian Hitler Dalam Tulisan Steno
SETELAH menerima buku catatan harian dr.  Poch dari Ny. S, Sosrohusodo bingung ketika harus menerjemahkan bagian  yang ditulis dengan huruf steno. Dia bertanya ke beberapa orang yang  mengerti soal stenografi. Namun, mereka kurang paham karena model steno  itu jarang dipakai pada masa sekarang.
“Akhirnya saya menyurati penerbit buku  steno di Jerman, minta bantuan mereka. Selang beberapa waktu kemudian  datang jawaban, steno yang contohnya saya kirimkan itu merupakan  stenografi Jerman yang sudah ’kuno’. Namanya sistem Gabelsberger dan  sudah lebih dari 60 tahun tidak dipakai lagi,” tutur Sosrohusodo.
Meski demikan, pihak penerbit berjanji  akan mencarikan orang yang ahli steno Gabelsberger. Ternyata penerbit  itu menepati janjinya, dengan mengirimkan terjemahan steno itu ke dalam  bahasa Jerman. Lalu Sosro menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
Judul catatan itu kurang lebih  “Keterangan Singkat tentang Pengejaran Perorangan oleh Sekutu dan  Penguasa Setempat pada Tahun 1946 di Salzburg“. Salzburg adalah nama  kota di Austria. Di dalam catatan itu antara lain tertulis, “Kami  berdua, istri saya dan saya, pada tahun 1945 di Salzburg“.
Memang tidak secara jelas diterangkan  identitas “kami berdua” dalam catatan tersebut. Akan tetapi, yang jelas  tersirat mereka berdua berada dalam ancaman. Antara lain dikejar-kejar  oleh CIC (Dinas Rahasia AS). “Pokoknya catatan itu menggambarkan  penderitaan orang yang diburu pihak keamanan,” tutur Sosrohusodo.
Selain itu, terdapat pula abjad yang  ditulis dengan huruf besar secara mencolok. Kalau diurutkan, kemungkinan  merupakan rute pelarian keduanya. Huruf-huruf itu adalah B, S, G, J, B,  S, R. Menurut Sosro, cara menyingkat tulisan seperti itu merupakan  kebiasaan Hitler dalam membuat catatan. ”Kebiasaan ini ditemukan pula  dalam literatur lain yang saya baca,” ujarnya.
Lalu dia menerjemahkan dan mengaitkannya  dengan kemungkinan rute pelarian Hitler. Kedua insan itu memulai  pelariannya dari B yang berarti Berlin, lalu S (Salzburg), G (Graz), J  (Jugoslavia), B (Beograd), S (Sarajevo), dan R (Roma). Roma, menurut  dia, sebagai kota terakhir di Eropa yang menjadi tempat pelarian kedua  orang itu. Setelah itu, mereka keluar dari benua tersebut menuju sebuah  tempat bernama Pulau Sumbawa.
Sosro membacakan hasil terjemahan dari  catatan harian itu, ”Pada hari pertama di bulan Desember, kami harus  pergi ke R untuk menerima surat paspor yang kemudian berhasil membawa  kami meninggalkan Eropa”. Keterangan ini sesuai dengan data pada paspor  dr. Poch yang menyebutkan, paspor bernomor 2624/51 diberikan di Rom  (tanpa huruf akhir a). Pada catatan buku itu nama Dragnovic dikaitkan  dengan Roma.
Sosro kembali memperlihatkan majalah  Zaman edisi 14 Mei 1984 ketika membahas tentang Berlin dan Salzburg.  Menurut dia, sejarah mencatat peristiwa jatuhnya pesawat yang membawa  surat-surat rahasia Hitler di sekitar Jerman Timur tahun 1945. Kenyataan  ini menjadi petunjuk tentang rute pelarian mereka.
*Makam G.A. Poch di Ngagel Utara, Surabaya
Tentang pelarian Hitler, Sosrohusodo  menyimpan kisah yang didengar dari masyarakat tempatnya bertugas di  Sumbawa. Masyarakat di sana bercerita, pada suatu ketika mereka melihat  munculnya kapal selam dari laut yang disusul dengan pendaratan sebuah  wahana yang berbentuk bulat.
“Saya mendengar cerita ini dari mulut ke  mulut. Saya jadi bertanya-tanya, apakah ini ada kaitan dengan  kemungkinan larinya Hitler menggunakan kapal selam dari Eropa ke  perairan Sumbawa? Tidak begitu jelas. Tapi juga bukan sesuatu yang tidak  mungkin,” katanya.
Sosro sangat yakin, orang sebesar dan  sepenting Hitler memiliki pengikut setia. Mustahil jika mereka tidak  memiliki strategi penyelamatan atas pimpinan tertingginya. Apalagi  kemudian diketahui beberapa dugaan terdahulu tentang akhir hidup Hitler,  belum ada satu pun yang pasti.
“Jadi, bukan sesuatu yang tidak mungkin  jika pengikutnya memilih Pulau Sumbawa di Indonesia. Sebab saat itu  Indonesia boleh dibilang sebagai wilayah yang masih terbuka untuk  dijadikan tempat persembunyian. Lokasi Pulau Sumbawa juga begitu jauh  dari Benua Eropa,” ujarnya beralasan.
Sosro pun bercerita tentang pengakuan  Nyonya S berkaitan dengan hal itu. Suatu hari suaminya mencukur kumisnya  mirip dengan kumis Hitler, kemudian S mempertanyakan kemiripan kumisnya  itu dengan kumis Hitler. Poch malah mengiyakan bahwa dirinya adalah  Hitler. “Tapi jangan bilang sama siapa-siapa,” begitu Sosro mengutip  ucapan Nyonya S.
Sosrohusodo mungkin termasuk orang yang  teguh memegang amanah. Hal itu terbukti ketika dia menutup rapat-rapat  kepanjangan nama Nyonya S. Dia hanya memberi pintu masuk menuju  identitas lengkapnya dalam bentuk foto-foto dan nama tempat Babakan  Ciamis.
Setidaknya terdapat dua foto yang  menunjukkan hubungan suami istri antara Ny. S dan Poch. Foto yang dibuat  di Sumbawa itu disebut Sosro sebagai foto saat keduanya melangsungkan  pernikahan di pendopo kabupaten. Penggunaan pendopo sebagai tempat  hajatan menunjukkan posisi Poch yang dihormati di kalangan masyarakat  setempat.
Pada foto itu terlihat Poch sudah  semakin tua, bersetelan jas yang agak kebesaran, kemeja putih berdasi,  dan berkacamata. Sementara S mengenakan kebaya putih, berkain batik, dan  sanggul beruntai bunga yang jatuh di dada kanannya. Tangan kanannya  memegang kipas. Mereka diabadikan dalam posisi berdiri.
Sementara pada foto yang satu lagi, Poch  dan S duduk di kursi. Sementara di belakang mereka berdiri tiga pria.  Jika senyum tampak tersungging di bibir S, maka di kedua foto itu wajah  Poch begitu dingin. Menjelang pernikahan itulah, kata Sosro, konon Poch  pindah agama menjadi seorang Muslim. Dia berganti nama menjadi  Djamaluddin. Kemudian mereka pindah ke Surabaya.
Namun nama barunya sebagai seorang  mualaf itu tampaknya tidak digunakan. Hal itu bisa dilihat pada makam  Poch di Pemakaman Umum Ngagel Utara, Jalan Bung Tomo, Surabaya. Pada  batu nisannya tertulis nama G. A. Poch. Belakangan saya baru tahu G.A.  adalah kependekan dari Georg (tanpa ”e”) Anton.






 
No comments:
Post a Comment